
Beberapa santri sedang berjalan untuk mengaji

Seorang sahabat yang pernah mondok bersama saya mengatakan kepada saya bahwa dia sangat menyesali keputusannya untuk keluar dari pesantren lantaran tergiur untuk menjadi “bebas” dan melanjutkan pendidikannya di sekolah umum.
Tapi ironisnya, beberapa sahabat saya yang berlatar belakang pendidikan umum justru mengatakan bahwa mereka merasa iri karena tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Beberapa dari mereka menceritkan alasannya, entah itu karena faktor ekonomi (biaya mondok yang dirasa mahal), ada juga yang faktor keluarga (lingkungan keluarga yang jauh dari nuansa keislaman, entah apa istilahnya), dan berbagai alasan lainnya.
Apapun perasaan mereka (baik yang menyesal karena keluar dari pesantren atau yang menyesal karena tidak sempat merasakan pendidikan pesantren) sejujurnya perasaan mereka itu lahir berkat pengaruh positif yang diberikan kalangan santri di tengah-tengah pergaulan mereka.
Baca Juga: Cara Membuka Pintu Rezeki Semakin Lebar
Tapi ironisnya, beberapa sahabat saya yang berlatar belakang pendidikan umum justru mengatakan bahwa mereka merasa iri karena tidak pernah mengenyam pendidikan di pondok pesantren. Beberapa dari mereka menceritkan alasannya, entah itu karena faktor ekonomi (biaya mondok yang dirasa mahal), ada juga yang faktor keluarga (lingkungan keluarga yang jauh dari nuansa keislaman, entah apa istilahnya), dan berbagai alasan lainnya.
Apapun perasaan mereka (baik yang menyesal karena keluar dari pesantren atau yang menyesal karena tidak sempat merasakan pendidikan pesantren) sejujurnya perasaan mereka itu lahir berkat pengaruh positif yang diberikan kalangan santri di tengah-tengah pergaulan mereka.
Baca Juga: Cara Membuka Pintu Rezeki Semakin Lebar
Menjadi santri sebenarnya tidak harus lulusan dari lembaga pendidikan Islam seperti pesantren saja, karena menjadi seorang yang nyantri (sebuah sifat dan sikap untuk menjadikan Islam beserta perangkatnya Al-Qur’an dan Hadist sebagai pedoman dan dasar berkehidupan) adalah jauh lebih substantif dibanding label “santri” itu sendiri. Menurut Haedar Nashir, sosok santri adalah perlambangan kebajikan beragama atau berislam. Sehingga kesantrian itu harus menunjukan jiwa, pikiran, prilaku dan tindakan keislaman yang benar-benar islami secara nyata, bukan dalam klaim dan retorika belaka.
Karena itu, kesadaran akan pentingnya menjadi santri yang nyantri yang memahami ilmu-ilmu agama yang mendalam (tafaqquh fi al-din) mesti dihayati dan diimplementasikan kedalam semua aspek kehidupan, baik diperaktekan dalam hubungan kita dengan Allah (Hablum Minallah) atau hubungan kita kepada sesama manusia (Hablum Minannas), seperti pepatah lama yang berbunyi “Al-Ilmu bila amalin ka as-syajarin bila samarin” Ilmu tanpa diamalkan layaknya pohon yang tak berbuah. [mrf]
Bogor | @mrezafansuri | 2019
Bogor | @mrezafansuri | 2019
Jangan lupa like dan berikomen yang positif, mari bersama-sama menebar pengetahuan :)
ReplyDelete